Just Share, bagus ini..
Ada yang menganggap saya tak suka Jokowi. Keliru.
Ada yang menganggap saya tak suka Jokowi. Keliru.
Yang saya tidak suka adalah
dampak ia jadi presiden. Ibaratnya, sepasang orangtua menyukai anaknya yang
baik dan penurut, tapi mereka tidak suka bila anaknya itu bergaul dengan
anak-anak yang kasar dan suka ngejailin. Mereka tak suka dampaknya.
Dampak umum dari keterpilihan
Jokowi adalah Indonesia semakin permisif; semakin longgar akan nilai-nilai dan
norma-norma. Apa yang dulu dianggap tabu
dan cela sekerang tidak lagi. Mungkin masih ada reaksi masyarakat, tapi lama-lama,
apa boleh buat, yang tabu dan cela itu diterima sebagai hal biasa. Itulah nilai
strategis suatu kekuasaan.
Amanah, yang selama ini jadi
prinsip kepemimpinan, mulai luntur. Ingkar-ingkar sedikit tak apa lah. Bo'ong
bo'ong sepotong dua potong, tak masalah, yang lebih diutamakan adalah keluguan
dan kemerakyatan.
Keluguan seakan menjadi
kriteria utama seorang pemimpin, mengungguli ketegasan dan kewibawaan.
Ketertiban berbahasa, tata cara berkomunikasi, sampai ke cara berpakaian dan
kebakuan protokoler, menjadi tidak penting.
Cerminan pertama dari dampak
kelunturan nilai-nilai dan norma itu terlihat pada Kabinet Kerja. Ada menteri
diwawancara sambil merokok. Badannya bertato. Tak apa, yang penting bisa
bekerja.
Orangtua yang menasihati
anaknya agar tak merokok dan bertato, karena hal itu tidak baik, akan
kesulitan. Sebab nanti anaknya akan bilang: "Kalau tidak baik, masak bisa
jadi menteri."
Sekarang sejumlah orang mulai
mengkritisi Jokowi soal susunan kabinetnya. Kritisi kepada Jokowi salah alamat,
karena kita semua tau Jokowi bukan tipe pengambil keputusan, yang menentukan
dan memberi kata putus tentang nama-nama yang masuk dalam kabinet adalah sang
bunda, meski Jokowi bilang: “Penyusunan kabinet ini SAYA lakukan dengan
hati-hati dan cermat.”
Dan ini dampak khas dari
keterpilihan Jokowi. Pemimpin tidak lagi dituntut menjadi pembuat keputusan,
melainkan penerima keputusan. Jadi, di masa-masa datang, pemimpin tak perlu
mandiri dan punya kedaulatan diri, tak perlu amanah, tak perlu jujur-jujur
amat, tak perlu mempertimbangkan norma dan etika masyarakat.
Nah, kalau itu semua tidak
perlu bagi pemimpin, pasti tambah tidak perlu bagi warga masyarakat. Lantas apa
gunanya pendidikan? Kementrian Agama? Dan Menko Pembangunan Manusia dan
Kebudayaan.
Sekarang mungkin masih ada
yang risih melihat menteri mengepulkan asap rokok dan bertato. Tapi harap
maklum ini karena baru, nanti juga terbiasa. Nanti juga ‘legowo’. Dan bukan
tidak mungkin suatu saat kita akan menerima menteri perempuan mengenakan rok
mini atau celana senam ke kantor. Atau menteri laki-laki, dengan lengan baju
digulung sampai siku tapi berbaju dalam kaos lengan panjang, kayak pemain band
alay. Eh, ke-alay-an juga nanti jadi norma umum juga.
Seseorang membuat status:
“Pagi-pagi di meja kerja ditaruhin foto presiden baruuu gede bangettt...
Jahaaaatt hiks.” Colek Aychie Qie Shaa.
Temannya berkomentar:
“Legowo. Legowo..”
Tanpa dibilang "legowo,
legowo" pun si penulis status akan terbiasa, dan tidak lagi berreaksi
seperti itu. Dia tidak sendirian, guru-guru sekolah yang mendukung Prabowo
mengaku merasa ‘gimanaaa’ gitu, harus memasang foto pasangan presiden-wapres di
ruang kelas mereka. Tapi itu minggu pertama saja, setelah itu akan terbiasa.
Dan itulah nilai strategis kekuasaan.
Nilai-nilai sedang berubah.
Bagi sebagian orang ini menjadi sumber keprihatinan. Dan yang mempercepat
perubahan ini adalah ‘pemimpin’. Semakin sering Ahok mengucapkan kata
‘bajingan’ di depan umum, semakin kata itu terdengar tidak kasar. Bahkan
mungkin sebentar lagi jadi santun.
Tampilan protokoler presiden
dan menterinya pun berubah: lengan baju digulung, bagian bawah kemeja terjulur.
Tidak pentinglah ini. Yang penting: Kerja. Kerja. Kerja.
Tapi manusia bekerja untuk
meningkatkan taraf hidup. Dan taraf hidup itu bukan hanya penghasilan, tapi
juga budi pekerti. Seluruh ummat manusia menginginkan tingkat peradaban yang
tinggi, halus dan indah. Untuk itulah mereka bekerja.
Namun, meskipun kekuasaan
begitu efektifnya mengacak-acak dan mengacaukan nilai-nilai, masyarakat yang
mandiri dan berkarakter bisa menangkalnya dengan berpegang teguh pada
nilia-nilai yang mereka anut, pada keyakinan, pada ketinggian derajat manusia.
Saya ingin jadi anggota masyarakat yang berkarakter. Berkarakter Indonesia.
Kafil Yamin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar