Jumat, 31 Oktober 2014

Katanya saya tak suka Jokowi. Keliru.

Just Share, bagus ini..

Ada yang menganggap saya tak suka Jokowi. Keliru.

Yang saya tidak suka adalah dampak ia jadi presiden. Ibaratnya, sepasang orangtua menyukai anaknya yang baik dan penurut, tapi mereka tidak suka bila anaknya itu bergaul dengan anak-anak yang kasar dan suka ngejailin. Mereka tak suka dampaknya.

Dampak umum dari keterpilihan Jokowi adalah Indonesia semakin permisif; semakin longgar akan nilai-nilai dan norma-norma.  Apa yang dulu dianggap tabu dan cela sekerang tidak lagi. Mungkin masih ada reaksi masyarakat, tapi lama-lama, apa boleh buat, yang tabu dan cela itu diterima sebagai hal biasa. Itulah nilai strategis suatu kekuasaan.

Amanah, yang selama ini jadi prinsip kepemimpinan, mulai luntur. Ingkar-ingkar sedikit tak apa lah. Bo'ong bo'ong sepotong dua potong, tak masalah, yang lebih diutamakan adalah keluguan dan kemerakyatan.

Keluguan seakan menjadi kriteria utama seorang pemimpin, mengungguli ketegasan dan kewibawaan. Ketertiban berbahasa, tata cara berkomunikasi, sampai ke cara berpakaian dan kebakuan protokoler, menjadi tidak penting.

Cerminan pertama dari dampak kelunturan nilai-nilai dan norma itu terlihat pada Kabinet Kerja. Ada menteri diwawancara sambil merokok. Badannya bertato. Tak apa, yang penting bisa bekerja.

Orangtua yang menasihati anaknya agar tak merokok dan bertato, karena hal itu tidak baik, akan kesulitan. Sebab nanti anaknya akan bilang: "Kalau tidak baik, masak bisa jadi menteri."

Sekarang sejumlah orang mulai mengkritisi Jokowi soal susunan kabinetnya. Kritisi kepada Jokowi salah alamat, karena kita semua tau Jokowi bukan tipe pengambil keputusan, yang menentukan dan memberi kata putus tentang nama-nama yang masuk dalam kabinet adalah sang bunda, meski Jokowi bilang: “Penyusunan kabinet ini SAYA lakukan dengan hati-hati dan cermat.”

Dan ini dampak khas dari keterpilihan Jokowi. Pemimpin tidak lagi dituntut menjadi pembuat keputusan, melainkan penerima keputusan. Jadi, di masa-masa datang, pemimpin tak perlu mandiri dan punya kedaulatan diri, tak perlu amanah, tak perlu jujur-jujur amat, tak perlu mempertimbangkan norma dan etika masyarakat.

Nah, kalau itu semua tidak perlu bagi pemimpin, pasti tambah tidak perlu bagi warga masyarakat. Lantas apa gunanya pendidikan? Kementrian Agama? Dan Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.

Sekarang mungkin masih ada yang risih melihat menteri mengepulkan asap rokok dan bertato. Tapi harap maklum ini karena baru, nanti juga terbiasa. Nanti juga ‘legowo’. Dan bukan tidak mungkin suatu saat kita akan menerima menteri perempuan mengenakan rok mini atau celana senam ke kantor. Atau menteri laki-laki, dengan lengan baju digulung sampai siku tapi berbaju dalam kaos lengan panjang, kayak pemain band alay. Eh, ke-alay-an juga nanti jadi norma umum juga.

Seseorang membuat status: “Pagi-pagi di meja kerja ditaruhin foto presiden baruuu gede bangettt... Jahaaaatt hiks.” Colek Aychie Qie Shaa.
Temannya berkomentar: “Legowo. Legowo..”

Tanpa dibilang "legowo, legowo" pun si penulis status akan terbiasa, dan tidak lagi berreaksi seperti itu. Dia tidak sendirian, guru-guru sekolah yang mendukung Prabowo mengaku merasa ‘gimanaaa’ gitu, harus memasang foto pasangan presiden-wapres di ruang kelas mereka. Tapi itu minggu pertama saja, setelah itu akan terbiasa. Dan itulah nilai strategis kekuasaan.

Nilai-nilai sedang berubah. Bagi sebagian orang ini menjadi sumber keprihatinan. Dan yang mempercepat perubahan ini adalah ‘pemimpin’. Semakin sering Ahok mengucapkan kata ‘bajingan’ di depan umum, semakin kata itu terdengar tidak kasar. Bahkan mungkin sebentar lagi jadi santun.

Tampilan protokoler presiden dan menterinya pun berubah: lengan baju digulung, bagian bawah kemeja terjulur. Tidak pentinglah ini. Yang penting: Kerja. Kerja. Kerja.

Tapi manusia bekerja untuk meningkatkan taraf hidup. Dan taraf hidup itu bukan hanya penghasilan, tapi juga budi pekerti. Seluruh ummat manusia menginginkan tingkat peradaban yang tinggi, halus dan indah. Untuk itulah mereka bekerja.

Namun, meskipun kekuasaan begitu efektifnya mengacak-acak dan mengacaukan nilai-nilai, masyarakat yang mandiri dan berkarakter bisa menangkalnya dengan berpegang teguh pada nilia-nilai yang mereka anut, pada keyakinan, pada ketinggian derajat manusia. Saya ingin jadi anggota masyarakat yang berkarakter. Berkarakter Indonesia.


Kafil Yamin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar