Hidup di kalangan Mahasiswa adalah fase watktu di antara sekian sedikit jumlah waktu yang tersedia, banyak orang berkata Mahasiswa adalah gelar, namun banyak pula yang mengumpat Mahasiswa hanya pelajar biasa saja. Tentunya setiap waktu memiliki cerita tersediri, begitu pula setiap orang akan berfikir dan memberikan hipotesis sesuai apa yang ada di dalam otaknya.
3,5 kali 365 hari sudah fase Mahasiswa melekat, waktu demi waktu terlewati. Membuat sebuah dokumenter perjalanan hidup luar biasa bagi saya. Memang, setiap pohon memiliki daun yang berbeda itulah mengapa saya mencoba lebih banyak diam dalam berpendapat. Pernah tidak memikirkan bahwa warna merah yang kita lihat tidak sama dengan warna merah yang orang lain liha? Bisa saja, toh tidak pernah kita mencoba melihat warna itu dengan mata orang lain atau bahkan memprosesnya dengan otak yang berbeda. Simplenya saja kita di Indonesia dari kecil di ajarkan untuk menyebut bulu yang tumbuh dikepala adalah "rambut", sedangkan orang di UK (United Kingdom) sana menyebutnya "hair" padahal inti yang dimaksudkan adalah sama.
Mahasiswa, berjuta dielektika tentangnya memberikan milyaran pradigma dan persepsi tersendiri. Sejak 1998 silam, tragedi reformasi semakin menguatkan dan memunculkan paradigma baru tentang Mahasiswa. Semakin berlalu terdengarkan bahwa mahasiswa hidup karena Idealisme-nya. Apa itu Idealisme? plato adalah orang yang berpengaruh dalam munculnya kata. Ringannya idealisme adalah pendapat dari seseorang tentang suatu hal. Sejarahnya 1998 idealisme atas nama Mahasiswa mengarah kepada Pemerintah. Terwujudlah data tentang bagaimana peran Mahasiswa, dan diantaranya yang paling nampak adalah control of social. Runtuhnya rezim otoriter adalah salah satu bukti realisasi dari Idealisme.
2015, setelah 17 tahun berselang pasca reformasi entitas pergerakan mahasiswa masih melekat dengan sokongan Idealismenya. Bedanya, target dari pemikiran setiap individu bernama Mahaiswa kian variatif. Meskipun semunya mengarah kepada langkah pasti untuk turut serta mengisi hari-hari kemerdekaan, namun perbedaan tak dapat ditinggalkan. control of social mengarah kepada peran Mahasiswa dalam membantu menstabilkan proses sosial yang terjadi, proses manusia terkumpul menjadi kelompok sampai provinsi yang terkumpul menjadi Negara. Jalannya pemerintahan Negara terus membutuhkan elemen pendukung dan penyaring bernama mahasiswa.
Bermuala dari pertemuan Mahasiswa eksekutif se-DIY, kami mewakili institusi masing-masing dan bertukar fikiran terhadap respon berjalannya pemerintahan. Sangat bangga bisa menjadi inisiator untuk mengumpulkan mereka dan menjadi agrigator orang-orang penuh idealisme ini. Semakin larut perbincangan perlahan namun pasti perbedaan paradigma semakin ketara. Salah satu orang menyampaikan dengan pelan diawal namun diakhiri dengan keras bahwa era Mahasiswa sudah berubah, harunya bentuk kontrol terhadap pemerintahan adalah dengan turut serta membangun dengan event yang bermakna dan langsung tertuju kepada masyarakat serta jelas hasilnya. Namun disisi lain, salah seorang Mahasiswa dari kampus besar yang sempat tertidur tetap santai dengan idealismenya bahwasanya kontrol pemerintahan adalah "kawal" segala bentuk kebijakan, dukung ketika baik dan ingatkan ketika buruk.
Saat itulah saya memahami, disela-sela panasnya diskusi. Mungkin karena runtuhan hujan diluar yang mengingatkan. Spekulasi sesaat memang menyampaikan bahwa sanya kawal pemerintahan itu hanya akan berakhir sia-sia, dan intelektualitas Mahasiswa justru akan terhapus karena noda kekecewaan dari masyarakat. Namun, jangka panjang ingatan itu muncul karena memori memberikan gambaran bahwasanya organisasi ini begerak vertikal dan horisontal. Ada kalanya dimana Mahasiswa bergerak vertikal karena harus bekerja ekstra untuk menekan segala bentuk kebijakan agar tetap pada cita-cita bersama mungkin dalam bentuk aksi atau metode propaganda yang lain. Di sisi lain Mahasiswa ternyata juga bekerja kearah horisontal, mendukung program pemerintah lewat agenda bertujuan langsung kepada masyarakat dengan hasil terukur.
Organisasi mahasiswa sebagai salah satu wadah untuk merealisasikan idealisme telah disusun sedemikian rupa. Layaknya sebuah negara yang memiliki banyak tangan untuk menggapai setiap sendi dari problematika rakyat, organisasi didesain untuk dapat bergerak memberikan respon atas terjadinya proses sosial. Memang, derasnya angin media terkadang tidak sempat menerbangkan sekian banyak program Mahasiswa untuk mengisi hari-hari kemerdekaan dengan tenang dan damai. Tapi, sampai hari inipun hukum alam selalu berkata bahwa sesuatu yang besar itu bermula dari kecilnya perbedaan yang dibangun. Kecil memang segala bentuk pengabdian yang dilakukan atas wadah organisasi. Karena memang keterbatasan ruang dan waktu.
Kemudian, saat banyak sekali celotehan tentang mekanisme respon sosial vertical. Akhirnya saya hanya bisa tersenyum karena itulah yang mereka lihat. Memang wajar saat manusia hanya diberikan gelar mahasiswa bukan Maha Melihat, yaa karena setiap manusia tidak bisa melihat seluruh kejadian yang ada di muka bumi. Kemudian saat mereka hanya mampu berkomentar apakah karena itu kita akan berhenti untuk memberian respon terhadap jalannya pemerintahan? tentu TIDAK. terkadang kita tidak perlu melihat dan mendengarkan setiap cacian dari seonggok daging bernama manusia, karena mungkin bukan hari ini, mungkin esok atau lusa pasti kita hanya akan semakin berhenti untuk bergerak dan lambat laun akan diam, mati dan hilang tergantikan perubahan masa.
Setidaknya dalam perilaku memberikan kontribusi untuk turut serta mengisi hari-hari kemerdekaan sebagai rakyat hal terbaik yang wajib kita lakukan adalah mendukung ketika baik dan mengingatkan ketika salah.
Lantas adakah dzat yang lebih adil selain dari pada Maha segala Maha?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar