Rabu, 18 Februari 2015

Aku Ingin Bahagia

Pernahkah kau merasa, saat sebenarnya langit yang kita pandang adalah langit yang sama. Angin berhembus keutara, meniupkan secerca harapan layangan akan terbang tinggi menjulang langit. Anak-anak berlarian mengejar ke arah angin bermuara, dengan benang panjang nan kuat layangan itu terbang seperti ingin memutus talinya dan menjauh. Namun, anak-anak penuh keceriaan dan semangat menariknya, mempertahankan standar ketinggian agar tak melampaui batas atau malah terbang dan menghilang.

Sedikit merenung dan berfikir, ombak ditepi pantai tak pernah berhenti. Suatu waktu dia bergerak begitu besar dan tinggi, dan terkadang ia pelan dan menghanyutkan. Matahari menjadi saksi saat semua orang memberikan kekagumannya didalam 2 masa, saat fajar mulai menyingsing dan saat senja dengan panorama penuh warna. Mereka menjadi keindahan diantara perubahan 2 warna gelap dan terang. Walaupun adakalanya saat matahari tertutup awan mendung, dan keindahan hari-hari biasanya lenyap terbawa waktu.

Romantika hidup tentulah memiliki perbedaan diantara setiap mata yang memandang. Sedikit ingin mengulang tentang bagaimana kebahagiaan itu datang kedalam hari-hari seorang manusia, hingga tidak ada lagi kekecewaan atau pengaharapan atas ketidakmungkinan. Padahal kita lihat sekian banyak orang frustasi karena kekecewaan, hidup mereka hancur karena kebahagiaan hati tak kunjung dirasakan. Lantas, sebenarnya kebahagiaan itu seperti apa dan bagaimana dia akan datang.

Hingga akhirnya kata bahagia dapat terasa, bahagia itu sederhana, saat terucap kata syukur atas apa yang engkau dapat dan syukur atas apa yang engkau punya. Bahagia adalah kesederhanaan mengucapkan "Alhamdulillah".

Manisnya hidup adalah kita yang merasakan, bahagia membuatmu tenang, cobaan membuatmu kuat, kegagalan membuatmu bangkit, keberhasilan membuatmu rendah hati, namun ada syukur yang akan membuatmu cukup. Karena Allah memberikan kecukupan setelah kekurangan.

Hidup memang seperti itu, terkadang logika tak sejalan dengan realita. Harapan akan cita-cita besar tak kunjung didapatkan, namun sadar atau tidak kebutuhan itu selalu tercukupi tanpa diharapkan atau dicita-citakan. Kita lupa, dan selalu meminta untuk bisa hidup seperti orang lain, padahal sekian banyak orang yang ingin hidup seperti kita.

Belajar dari seorang anak yang bermain dipadang rumput, melihat pesawat melintas diatasnya dia bergumam ingin terbang menembus awan. Namun dari atas, pilot tersebut memimpikan daratan. Dia ingin turun dan segera pulang.

Jika kebahagiaan adalah ilmu, tentu tidak akan ada profesor yang bunuh diri karena kecerdasannya. Jika kebahagiaan adalah harta tentu tidak akan ada konglomerat yang mengakhiri hidup karena khawatir hartanya.
Jika kebahagiaan adalah tahta tentu tidak akan ada presiden yang mati terbunuh karena kekuasaannya.

Kebahagiaan adalah hati yang selalu merendah, mulut yang selalu bersyukur, dan tangan yang tak henti berdo'a.

Sabtu, 14 Februari 2015

Sad Sunrise

Suatu hari seorang pemuda berlari, mendekat ke arah selatan menuju nyanyian lembut yang datang. Sore itu matahari bersinar di ujung sudut atas hampir ke bawah. Warnanya tak lagi sama seperti beberapa waktu lalu, mulai memberikan pantulan bias tak terdeteksi namun tak lagi menyilaukan. Bersamaan dengannya langit dan awan saling bahu membahu memberi ruang kepada masing-masing untuk saling menghiasi. Tak mau kalah, warna bias itu menerobos disela-sela perpaduan langit dan awan. Terlihat indah saat mereka saling mengisi dan menutupi.

Pemuda itu mengencangkan larinya kedepan sejauh ia memandang. Jalannya berpasir namun lembut tanpa batu ataupun tanah. Ia berlari sambil sesekali menatap keatas, berharap apa yang ada dihadapannya tak segera menghilang. Lalu, angin menampakkan diri dengan menyapu keringat yang mulai keluar dari kulit. Semakin jauh berlari, semakin bergetar langkah kaki, berjalan lurus bersamaan degan kencangnya angin yang menerpa. Rambutpun ikut tersibak, saat keringat menetes jalanan mulai menanjak.

Tiba-tiba langkahnya melamban, matanya tercengang sesaat dan mulai menundukan kepala. Raut mukanya menampakkan rona kekecewaan yang begitu mendalam. Rupanya hati kecilnya bergetar saat melihat alunan ombak tak sempurna itu. Wajar, gelombang air yang datang terlihat begitu berat dan pecah. Terayata desiran ombak di tepi pantai itu membawa tumpukan-tumpukan barang buangan tak berguna. Mungkin hasil buangan tangan-tangan manusia yang ikut hanyut terbawa arus dari hulu ke hilir. Warnanya coklat, jauh sepanjang mata dapat memandang kearah laut.

Semangat membara dan harapan akan cita-cita pandangan pun sirna. Pemuda itu diam sesaat, mulai mengatur nafas tak beraturan sedari tadi. Diapun memandang keatas seolah mencari secerca harapan atas cita-cita sederhana melihat nuansa indah sore hari ditepi pulau. Sekian detik dia kembali menunduk, dan memalingkan badan karena keindahan matahari, langit, awan dan angin telah sirna baginya. Langkah kakinya diseret perlahan, meninggalkan tepi pantai yang sangat mengecewakan dibenaknya.


Ditinggalkannya segala ekspetasi atas terwujudnya cita-cita indah, sore itu panorama langit akhirnya berakhir gelap dengan menghilangnya matahari ke ufuk barat.      

"Dan ingatlah olehmu di watu Tuhan menjadikanmu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum 'Aad dan memberikan tempat bagimu di bumi. Kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kau pahat pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah. Maka ingatlah nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan" {QS Al Araf : 74}

Kamis, 12 Februari 2015

Merenung dalam kesendirian

Sebuah kesyukuran atas nikmat Allah SWT, semoga ini menjadi awal atas bangkitanya ruh semangat yang sempat terkaburkan dan menjadi tak tampak.

Arahnya, melihat beberapa hari kebelakang. Serasa seperti tak ingin mengenangnya, namun sepertinya sang khalik berkata lain. Hingga saya merasakan betapa cintaNya begitu besar kepada setiap hambanya. Waktu berlalu, sejak saya selalu menuliskan kata "sendiri" sebagai habits. Teringat pesan seorang Pengajar Muda, "hati-hati mas, kesendirian itu labil. Terkadang dia menguntungkanmu namun terkadang dia merugikanmu". 

Benar, saya merasakan semua itu benar. Saat kebiasaan berupa kesendirian itu seolah menjadi 2 keping mata uang yang saling bersebrangan. Benarnya mata uang itu hanya satu namun memiliki dua perwajahan. Bisa jadi dilihat dari depan, dan bisa jadi dlilihat dari belakang. Keduanya tidak akan pernah berhadapan karena saling berlawanan. Satu sisi menujukkan kebaikan satu sisi meberikan dampak keburukan.  

Suatu saat ditengah malam, kesendirian berarti bertemu denganNnya menyampaikan apa yang tak bisa disampaikan. Kesendirian itu begitu berharga, halnya saat sepasang pemuda terkasih tak pernah bertemu, pertemuan itu menjadi suatu romansa paling berharga tiap detik dan menit. Jika sudah bertemu batasan ruang dan waktu seolah tak lagi menjadi batas yang akan memisahkan. Dinginnya memberikan kesejukan, gelapnya menambah ketenangan dan sunyinya menjadikan lantunan doa yang terlantut begitu mendalam dan terasa.

namun sisi lain mengatakan,

disuatu saat, saat kesendirian memberikan arti bahwa semuanya menjadi sepi. Tidak ada siapapun yang menemani, terkadang bisikan-bisikan untuk melupakan keindahan abadi tertutup oleh gencarnya keinginan sesaat. Menjadikan diri semakin tenggelam dan terpuruk, menjadikan waktu silih berganti begitu cepat tanpa arti dan makna.

Sesungguhnya kesendirian merupakan titik dimana seorang manusia berada dipuncak gunung. Memang saat itu berada di bumi namun dekat dengan langit.





Selasa, 03 Februari 2015

Mahasiswa, Respon Vertikal dan Horisontal

Hidup di kalangan Mahasiswa adalah fase watktu di antara sekian sedikit jumlah waktu yang tersedia, banyak orang berkata Mahasiswa adalah gelar, namun banyak pula yang mengumpat Mahasiswa hanya pelajar biasa saja. Tentunya setiap waktu memiliki cerita tersediri, begitu pula setiap orang akan berfikir dan memberikan hipotesis sesuai apa yang ada di dalam otaknya.

3,5 kali 365 hari sudah fase Mahasiswa melekat, waktu demi waktu terlewati. Membuat sebuah dokumenter perjalanan hidup luar biasa bagi saya. Memang, setiap pohon memiliki daun yang berbeda itulah mengapa saya mencoba lebih banyak diam dalam berpendapat. Pernah tidak memikirkan bahwa warna merah yang kita lihat tidak sama dengan warna merah yang orang lain liha? Bisa saja, toh tidak pernah kita mencoba melihat warna itu dengan mata orang lain atau bahkan memprosesnya dengan otak yang berbeda. Simplenya saja kita di Indonesia dari kecil di ajarkan untuk menyebut bulu yang tumbuh dikepala adalah "rambut", sedangkan orang di UK (United Kingdom) sana menyebutnya "hair" padahal inti yang dimaksudkan adalah sama.

Mahasiswa, berjuta dielektika tentangnya memberikan milyaran pradigma dan persepsi tersendiri. Sejak 1998 silam, tragedi reformasi semakin menguatkan dan memunculkan paradigma baru tentang Mahasiswa. Semakin berlalu terdengarkan bahwa mahasiswa hidup karena Idealisme-nya. Apa itu Idealisme? plato adalah orang yang berpengaruh dalam munculnya kata. Ringannya idealisme adalah pendapat dari seseorang tentang suatu hal. Sejarahnya 1998 idealisme atas nama Mahasiswa mengarah kepada Pemerintah. Terwujudlah data tentang bagaimana peran Mahasiswa, dan diantaranya yang paling nampak adalah control of social. Runtuhnya rezim otoriter adalah salah satu bukti realisasi dari Idealisme.

2015, setelah 17 tahun berselang pasca reformasi entitas pergerakan mahasiswa masih melekat dengan sokongan Idealismenya. Bedanya, target dari pemikiran setiap individu bernama Mahaiswa kian variatif. Meskipun semunya mengarah kepada langkah pasti untuk turut serta mengisi hari-hari kemerdekaan, namun perbedaan tak dapat ditinggalkan. control of social mengarah kepada peran Mahasiswa dalam membantu menstabilkan proses sosial yang terjadi, proses manusia terkumpul menjadi kelompok sampai provinsi yang terkumpul menjadi Negara. Jalannya pemerintahan Negara terus membutuhkan elemen pendukung dan penyaring bernama mahasiswa.

Bermuala dari pertemuan Mahasiswa eksekutif se-DIY, kami mewakili institusi masing-masing dan bertukar fikiran terhadap respon berjalannya pemerintahan. Sangat bangga bisa menjadi inisiator untuk mengumpulkan mereka dan menjadi agrigator orang-orang penuh idealisme ini. Semakin larut perbincangan perlahan namun pasti perbedaan paradigma semakin ketara. Salah satu orang menyampaikan dengan pelan diawal namun diakhiri dengan keras bahwa era Mahasiswa sudah berubah, harunya bentuk kontrol terhadap pemerintahan adalah dengan turut serta membangun dengan event yang bermakna dan langsung tertuju kepada masyarakat serta jelas hasilnya. Namun disisi lain, salah seorang Mahasiswa dari kampus besar yang sempat tertidur tetap santai dengan idealismenya bahwasanya kontrol pemerintahan adalah "kawal" segala bentuk kebijakan, dukung ketika baik dan ingatkan ketika buruk.

Saat itulah saya memahami, disela-sela panasnya diskusi. Mungkin karena runtuhan hujan diluar yang mengingatkan. Spekulasi sesaat memang menyampaikan bahwa sanya kawal pemerintahan itu hanya akan berakhir sia-sia, dan intelektualitas Mahasiswa justru akan terhapus karena noda kekecewaan dari masyarakat. Namun, jangka panjang ingatan itu muncul karena memori memberikan gambaran bahwasanya organisasi ini begerak vertikal dan horisontal. Ada kalanya dimana Mahasiswa bergerak vertikal karena harus bekerja ekstra untuk menekan segala bentuk kebijakan agar tetap pada cita-cita bersama mungkin dalam bentuk aksi atau metode propaganda yang lain. Di sisi lain Mahasiswa ternyata juga bekerja kearah horisontal, mendukung program pemerintah lewat agenda bertujuan langsung kepada masyarakat dengan hasil terukur. 

Organisasi mahasiswa sebagai salah satu wadah untuk merealisasikan idealisme telah disusun sedemikian rupa. Layaknya sebuah negara yang memiliki banyak tangan untuk menggapai setiap sendi dari problematika rakyat, organisasi didesain untuk dapat bergerak memberikan respon atas terjadinya proses sosial.  Memang, derasnya angin media terkadang tidak sempat menerbangkan sekian banyak program Mahasiswa untuk mengisi hari-hari kemerdekaan dengan tenang dan damai. Tapi, sampai hari inipun hukum alam selalu berkata bahwa sesuatu yang besar itu bermula dari kecilnya perbedaan yang dibangun. Kecil memang segala bentuk pengabdian yang dilakukan atas wadah organisasi. Karena memang keterbatasan ruang dan waktu.

Kemudian, saat banyak sekali celotehan tentang mekanisme respon sosial vertical. Akhirnya saya hanya bisa tersenyum karena itulah yang mereka lihat. Memang wajar saat manusia hanya diberikan gelar mahasiswa bukan Maha Melihat, yaa karena setiap manusia tidak bisa melihat seluruh kejadian yang ada di muka bumi. Kemudian saat mereka hanya mampu berkomentar apakah karena itu kita akan berhenti untuk memberian respon terhadap jalannya pemerintahan? tentu TIDAK. terkadang kita tidak perlu melihat dan mendengarkan setiap cacian dari seonggok daging bernama manusia, karena mungkin bukan hari ini, mungkin esok atau lusa pasti kita hanya akan semakin berhenti untuk bergerak dan lambat laun akan diam, mati dan hilang tergantikan perubahan masa. 

Setidaknya dalam perilaku memberikan kontribusi untuk turut serta mengisi hari-hari kemerdekaan sebagai rakyat hal terbaik yang wajib kita lakukan adalah mendukung ketika baik dan mengingatkan ketika salah.

Lantas adakah dzat yang lebih adil selain dari pada Maha segala Maha?