Rabu, 19 November 2014

Wajar Jika Aku Menangis karenaNya

15.33 WIB. Hati sudah mulai gundah, langit mulai gelap karena sang surya tertutup pekatnya mendung dipertengahan bulan november. Hampir setiap hari turun hujan, itulah mengapa hatiku kian berdetak. Tak lama berjalan menuju kamar belakang, membasuh kulit dengan usapan-usapan wudhu yang diajarkan Bapak sejak kecil. Kemudian, sedikit berlari kecil menuju sebuah miniatur surau diujung rumah sebelah barat. Kudirikan sholat ashar dengan harapan segera bisa mengemas barang karena sudah ditunggu forum di tempat merantau. Rasanya berat, entah kenapa.

Faktanya siang hari ketika kami sedang bertiga duduk, Bapak Ibu dan Anak kedua mereka. Pembahasan mengarah pada masa depan, dimana orang tua sedikit mengeluh karena mahalnya biaya hidup di Yogyakarta. 11 Semseter ditambah 7 semseter mereka menyuplay materi dan do’a. Tak ubahnya sebuah cita-cita mulia agar anak-anak yang semakin tumbuh dewasa ini menjadi apa yang di doakan. Namun, rentang waktu sampai hari itu tak seperti biasanya. Pendapatan tak lagi stabil, wajah mereka semakin tua ditambah menahan rasa sakit karena terlalu sering memaksa kerja. Akhirnya arahan itupun merujuk pada do’a dan harapan agar 11 dan 7 semester itu segera diakhiri. Ujarnya “segera lulus nak, setelah lulus mau kerja bagus, mau nikah ya monggo, kalau mau sekolah lagi ibu bantu do’a saja”.

15.55 WIB. Do’a yang cukup panjang sengaja kupanjatkan sebelum hari ini kembali jauh dari mereka. Do’a terindah adalah ketika mengucapkan “allahumaghfirli waliwalydaia warkhamhuma kama robbayani shogiro”. Seperti menjadi dejavu do’a itu setiap dirumah, berulang dan terus berulang. Mungkin aku merindukan kasih sayang mereka, aah itu pasti. Seperti apapun aku di tempat perantauan aku hanyalah seorang anak ingusan, selalu menahan tangis saat ibu mengatakan “hati-hati ya mas....”.

Lanjutnya berkemas, berganti baju dengan potongan yang sempat tertinggal 3 hari setelah idul fitri. Hari dimana aku meninggalkan baju dan celana dirumah. Tidak terasa 3 hari setelah idul fitri itu menjadi hari terakhir menginjakkan kaki dirumah sebelum hari ini. Lama, bukan hanya aku yang berkata. Bapak, Ibuk, Simbah, Adek, bahkan teman-teman dikampus berkata “lama tak pulang”. Yaa sudahlah, yang terpenting sekarang adalah aku harus menyempatkan waktu untuk melihat keadaan mereka, di sela-sela amanah terakhir ini (semoga).

16.10 WIB. Kemasan sudah rapi. Tibalah waktu paling ku benci sepanjang sejarah merantau. Kulangkahkan kaki bertemu satu persatu, kebiasaanku adalah urut dari yang paling tua, simbah kemudian Bapak dan yang terakhir Ibu. Alasanya bukan karena ibu yang paling muda, tapi waktu pamitan dengan Ibu adalah saat paling emosional dalam hidup. Entah kenapa wajah kami seakan menjadi lemas saat itu. Tibalah diruang utama, saat sebelum aku menghampirinya Beliau sudah lebih dulu mendekat dan berkata, “ayoo mas, Ibu yang antar kamu sampai stasiun. Tapi kamu yang depan ya?”.

Akhirnya niatan untuk pamitan sengaja ditunda, berharap ada waktu semenit dua menit sebelum aku masuk ke antrian kereta. Kami keluar bersama dan melihat Bapak sedang istirahat duduk di depan rumah, mungkin Beliau lelah, dan pasti menahan sakit, Walaupun tidak pernah mau bercerita apa sakitnya. Kemudian Ibu ke arah motor dan aku melihat ke langit atas. Betapa pekatnya langit pinggir kota Purworejo sore itu. Rasa gemetar mulai muncul saat Bapak berkata, “mantolnya dipake bu, Bani saja yang di depan!!!” nadanya keras, tapi memang begitulah kebiasaannya. Didikan santai namun tegas yang selalu mendampingi tiga putranya.

Ah, butiran air mulai berjatuhan dan kulihat kearah utara sudah sangat gelap dibawah, pertanda hujan deras sudah berjatuhan. Ibu sempat berkata, “kalau balik besok saja gimana mas? Ini mau hujan. Besok pagi-pagi Ibu antar ke stasiun”. Sebenarnya aku tidak berani menjawab, namun aku hanya tersenyum dan berkata, “sampun di tunggu rencang kathah bu (sudah di tunggu banyak teman Bu”. Akhirnya motor tetap kujalankan, 1KM dari tempat kami berangkat, hujan turun seperti reruntuhan air es yang menggumpal. Cukup terasa sakit dikulit. Malangnya kami hanya menggunakan 1 mantel. Ibuku berkata, “pelan-pelan mas”.

16.30WIB, sempat kulihat jam tangan dan berfikir tepat 1 jam lagi jadwal kereta Prameks berangkat dari stasiun Jenar. Namun hujan semakin mengiringi perjalanan pelan itu, Di tengah-tengah perjalanan ibu berkata, “aduh mas, ibu basah”. Tiba-tiba petir sangat keras menyambar seperti diatas kepala dan seketika itu ibu memegang tubuhkan dengan kencang. Aku tau, dia adalah seorang wanita tua yang mulai renta. Wajar kalau merasa takut dengan sambaran petir sekeras itu. Perlahan aku merasakan kakinya basah, kucoba dengan satu tanganku memegang tangannya berharap hatinya tenang menerobos hujan angin dengan backsound petir. Seingatku jarak pandang sangat-sangat terbatas. Entah kenapa, saat itu aku berhenti bernyayi. Kebiasaanku saat naik motor adalah bernyanyi atau mengahafal al qur’an dibalik kaca helm yang tertutup.

Seketika petir besar menyambar sekeras-kerasnya, memori dalam ruang otak langsung berputar tak terarah. Aku berfikir, dibelakangku adalah seorang wanita tua yang rela berjuang membanting tulang untuk anak-anaknya hidup. Lantas apa saja yang sudah aku lakukan ketika dia tidak ada dihadapanku? Sudahkah sama dengan pengorbanannya? Apalagi hari ini aku menyaksikan sendiri betapa tangannya gemetar dan bajunya basah karena hujan. Terlebih aku adalah lelaki dewasa. Secara tubuh kekebalanku jauh diatasnya. Tapi kenapa mantel ini begitu rapat menutupiku, bukan malah menutupi dia yang semakin kedinginan.

Saat itupula aku merasakan, dia adalah ibuku. Ibu yang selama ini mungkin aku lupa akan perannya. Dia adalah orang yang paling menangis saat aku terluka. Dia adalah orang yang paling tidak bisa makan saat mendengar anaknya kehabisan uang di tempat jauh. Bahkan dia adalah orang yang rela mendo’akan lebih banyak untuk anaknya daripada do’a untuk dirinya sendiri.

Hari ini lagi-lagi dia berkorban, melawan rasa takutnya atas petir yang menyambar. Menahan dingin atas air yang semakin membasahi bajunya. Tak kuat rasanya aku menahan saat paling emosional ini, seketika aku meneteskan air mata sambil memegang semakin kuat tangnya.

Aku sadar, mungkin dia juga ingin jadi orang terakhir yang melihatku masuk pintu antrian kereta. Namun sungguh pengorbanan ini membuat air mata terpaksa menetes ditengah hujan. Segera kubuka kaca helm, satu tujuannya adalah

“biarkan aku mengangis di tengah hujan agar dia tak tahu bahwa aku sedang menangis karenanya”

Ditengah jalan hujan semakin keras berjatuhan, jalanan mulai banjir. Bahkan aku hanya menjalankan motor tak lebih dari 40KM/Jam. Satu yang aku fikirkan, saat aku sudah naik ke kereta nanti bagaimanakah dia akan pulang? Tetap menerobos hujan yang keras berjatuhan? Menahan bisingnya petir menyambar? Yang pasti, aku merasa Dia akan sangat ketakutan menjalankan motor 25KM sampai rumah ditengah cuaca seperti ini.

Semakin berfikir semakin air mata deras menetes. Hanya Allah yang tahu betapa hati ini sangat mencintai Ibu. Karena cinta itulah air mata kuijinkan keluar dan bercucuran, walaupun tak ingin kuberi tahu kepadanya.

17.03 WIB. Kami sampai di stasiun Jenar. Tempat kami akan berpisah, kemudian dia turun terlebih dahulu dan dengan jelas kulihat seluruh pakaian yang dikenakannya basah. Aku ingin menangis lagi saat dia berkata

“ini mas jaketmu, agak basah sedikit gak papa ya? Maafkan ibu”

Menyodorkan jaket hitam kesukaanku yang dari awal tadi kutitipkan untuk hanya dibawa bukan dipakai. masyaAllah, maaf untuk apa Bu, jaket itu begitu kering namun sekujur tubuhmu basah dan menggigil.

Seketika aku memegang bajunya dan berkata. “bu, jangan pulang dulu masih hujan. Bajumu basah semua!” dia berkata, “ gak papa mas, kayak gini saja, tinggal di tutup mantel”, aku tak kuasa menahan rasa haru, namun kali ini kami sedang berhadapan tak bisa aku menangis di depannya.

Kubuka tasku dan mengambil baju lengan panjang serta celana hitam bekas kupakai semalam, aku tau dia pasti akan menolak. Atas ijin Allah aku berkata, “bu, bajuku ini kotor. Minta tolong ibu ganti baju ini dan minta tolong sekalian di cucikan di Rumah nanti ya?”. Entah kenapa, mungkin dia juga kaget dengan sikapku seperti ini, dengan ekspresi datarnya dia berkata “iyaa sini mas tak cuciin saja, tapi ibu tetap seperti ini saja”. Maafkan aku ya Rabb, hamba hanya merasa sangat berdosa kala itu, kemudian berkata, “ya sudah kalau ibu gak mau ganti aku juga tidak akan berangkat”.

Kemudian dia mengambil pakaian yang dari tadi sudah di sodorkan. Bertanya, “toiletnya dimana mas?” entah kenapa rasa terharu ini sangat menyenangkan. Kemudian saat dia kembali, aku merasakan betapa bahagianya Ibukku itu. Kemudia dia berpamitan, akupun mencium tangannya sambil berkata, “hati-hati bu, disana masih hujan”.

17. 20 WIB. Aku masuk ke antrian tiket kereta, kemudian berjalan ke tempat antrian dan duduk sambil melihat betapa langit semakin cerah. Seperti Allah sedang mengambulkan do’aku untuk menjaganya sampai Rumah.

Terimakasih Buk, entah dengan cara apa Anakmu membalas pengorbananmu. Yang saat ini bisa kulakukan masih hanya dengan belajar, berkarya dan berdo’a agar Engkau selalu tersenyum saat mendengar namaku berhasil. Namun satu hal yang ingin kuharapkan Engkau tetap sehat dan bisa mendo’akan anakmu kembali.


5 komentar:

  1. terima kasih. mendalam. berhasil menjadikan hati berurai haru dan sedih dan bahagia dan banyak lagi.
    dan rindu kampung halaman.
    ibu pasti merasakan bagaimanapun cara anaknya menunjukkan rasa sayangnya :)

    BalasHapus
  2. sama-sama, semoga selalu Allah ijinkan untuk selalu berbagi inspirasi dan motivasi dimanapun dan dengan cara apapun..

    BalasHapus
  3. Saya gag tau (waktu itu) kalau ternyata sampai kek gitu...

    BalasHapus
  4. maaf, bukan bermaksud memberi tahu..

    BalasHapus