Jumat, 18 Juli 2014

Refleksi Hati

SMK N 2 Yogyakarta, sekolah ini memang penuh cerita. Mulai dari bangunan kuno peninggalan jaman penjajahan sampai ruangan yang ternyata satu kompleks dengan Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta. Lebih dari 2 minggu akhirnya aku berada dilingkungan ini, mencoba memahami setiap sudut nyata dan maya yang ada di dalamnya.

Satu hal sampai hari ini belum habis fikir tentang sekolah ini. Gerbang dipintu depan itu mulai ditutup pukul 06.45 WIB. Mendengar sistem ini tentu setiap orang akan bertanya, “yakin?”. Disamping itu ada satu hal menarik yang kemudian aku begitu terpana dengannya. Ceritanya setiap pukul 06.45 WIB pintu gerbang akan ditutup dan siapapun (tanpa terkecuali) dilarang masuk ke sekolah. Diwaktu bersamaan toa di sekeliling sekolah akan berbunyi layaknya bel, namun bedanya yang keluar adalah suara seoarang laki-laki. Suara itu sama, awalnya aku kira setiap pagi ada petugas pembaca teks ternyata itu hanya sebuah rekaman.

Ada lagi sebuah moment, yang bisa dikatakan keren. Rekaman itu adalah pertanda akan diputarnya lagu kebangsaan Indonesia Raya. Nah ini menarik, seketika theme song ini diputar, semua aktifitas berhenti. Pejalan kaki berhenti. Pengendara motor berhenti dan turun dari motor. Pengemudi mobil berhenti dan keluar dari mobil. Para petugas parkir sekolah yang sebelumnya (berkoar-koar) mengatur tempat parkirpun diam. Mereka serentak mengambil sikap sempurna dan dengan lantang serta hikmad menyanyikan lagu Kebangsaan. Selesainya lagu, mereka kembali melanjutkan aktifitas masing-masing.

SubhnAllah, ini adalah sebuah nilai kehidupan. Betapa sebuah penghargaan dan kepatuhan luar biasa terhadap lagu kebangsaan. Akupun bermimpi, lagu kebangsaan sebuah negara yang (sedikit) mengecewakan ini sangat mereka patuhi. Mungkin, akan ada suatu tempat disana entah diwaktu kapan. Saat itu suara adzan berbunyi dan semua orang berhenti dari aktifitasnya.

Para pedagang berhenti berdagang.

Para pembeli berhenti membeli.

Para pengajar berhenti mengajar.

Para pelajar berhenti belajar.

Mereka berdiri dengan sikap sempurna, berjalan berbondong-bondong mendatangi panggilan nan mulia itu. 

Kalaupun mau dibandingkan, apa yang telah Negara ini berikan terhadap Rakyatnya? Coba lihat apa yang telah Allah berikan pada hambanya. Bukankah Allah lebih dari segala pemberi hingga beliau bergelar Ar Rahman? Bukankah tanah yang telah kalian duduki itu masih terikat pajak? Namun apakah pernah Allah meminta pajak atas udara yang engkau hirup.

Sudah menjadi kewajaran rasanya ketika sang Khalik ini memanggil tidak ada satu hamba akan menoleh kebelakang ataupun acuh, melainkan semua menatap tajam dan penuh cahaya kedepan menghadap sang Tuan. Aku masih percaya moment ini akan ada didunia ini, ketika setiap hati mau melihat jauh kedalam hati mereka. Kemudian saat itulah akan terliahat sebuah pemandangan yang jauh lebih indah dibandingkan pemandangan fakta morgana dunia.

“setiap kebaikan itu pasti akan diterima, tergantung bagaimana kita membahasakannya”.

Batman, 18 Juli 2014 @BaniAsroff

Rabu, 16 Juli 2014

Warna Kasta

Aku melihat dan aku merasakan.

Dulu, saat masih menyandang putih merah pasti melihat keatas. Betapa putih biru itu begitu mempesona, anak-anak disana terlihat lebih cerdas dari kami yang masih bersekat 6. Memandang mereka, seakan putih biru adalah pangkat tertinggi dalam tataran dunia keilmuan. Tanpa terasa 6 tahun terlewati, sebuah masa baru dimana saat itu terlihat “keren” akhrinya dapat tersandang. Waktu itu, akulah “Putih Biru”.

Kemudian, masa 3 tahun itu adalah masa yang (ternyata masih) ada kesamaan dengan periode sebelumnya. Celana kami masih pendek, mata pelajaran kami masih umum, bahkan cara berfikir kami tidak terlalu berbeda. Hanya saja, iyaa... hanya saja beberapa laki-laki mengalami perbedaan yang cukup significant. Beberapa siswa (laki-laki) tumbuh dengan cepat dimasa ini, terlebih dalam segi postur tubuh. Namun, lagi melihat kedepan cermin ini terlihat masih putih biru. Seperti dejavu, rasa itu kembali terulang dimana putih abu-abu begitu melambai. Mereka bercelana panjang, mereka berjilbab rapi, bahkan tidak jarang tampilan fisik mereka adalah yang terindah dalam tataran 6, 3, dan 3. Mereka seakan menjadi trend center dunia pendidikan.

Tak lama berselang, masa 3 tahun terakhirpun terasa. Cerita yang sebenarnya tidak terlalu sama dengan apa yang diharapkan dulu ketika belum mengalami. Yah, itulah manusia dengan sejuta persepsi dan seribu imaginasi. Lagi-lagi dejavu itu kembali terulang, masa putih abu-abu yang dulu terlihat begitu indah ini seakn menjadi luntur karena beberapa visualisasi media tentang “kampus”. Anak-anak kampus ini tak lagi berpakaian seragam, jadwal mereka terlihat sangat mandiri. Bahkan berbagai media menggambarkan buku-buku besar yang selalu dibawa, ataupun taman-taman yang selalu dipenuhi pembaca buku. Cara jalan mereka terlihat begitu sempurna, apalagi dengan sebuah kata pembeda “aku duluan ya, ada kelas ini”. Emm, sangat-sangat beda dengan warna merah, biru ataupun abu-abu yang dilengkapi dengan putih. Masa itu seperti menggambarkan apa yang mereka pakai, berwarna.

Walaupun tak pernah terbayangkan namun ini yang menjadi takdir hidup. Justru Allah berikan jalan begitu terang, tentulah setiap hasil akan syncron dengan perjuangan. “mahasiswa”, gelar ini akhirnya melekat. Sebuah pemaknaan yang sejujurnya tidak ada ketertarikan dengan maknanya, hanya saja dari dulu nuansa bedanyalah yang akhirnya memunculkan daya pikat. Entah, tidak habis fikir secara logika orang akan berjalan kedepan, entah ucapan, perbuatan maupun fikiran. Tapi kali ini BERBEDA, sepertinya melihat putih abu-abu itu sangat pantas. Hanya sekilas memandang, namun dalam hati langsung berkata “ingin rasanya kembali kemasa itu”. Kali ini bukan pandangan keatas yang kembali terlihat, mungkin pandangan diatas kurang menarik. Atau mungkin lingkungan sekarang yang kemudian memberikan pesona keindahan nostalgia.

Pastinya, kenangan sebuah masa putih abu-abu rasanya ingin mengulangnya.


Batman, 16 Juli 2014 @BaniAsroff

Untukmu Qiyadah dan Para Jundi

Ksatria Langit Lihatlah dunia terbentang luas, tempat belajar. Berpetualanglah...

Untuk Qiyadah dan Para Jundi-nya

Sebuah renungan…
tentang sebuah komitmen keistiqamahan, sungguh amatlah berat, maka kuucapkan Jazakumullah khair…kepada para murabbi-murabbiyah, atas sebuah sentuhan yang luar biasa dan keindahan proses yang kalian berikan..

”Akh, dulu ana merasa semangat saat aktif dalam dakwah. Tapi belakangan rasanya semakin hambar. Ukhuwah makin kering. Bahkan ana melihat ternyata ikhwah banyak pula yang aneh-aneh.” Begitu keluh kesah seorang mad’u kepada murobbinya di suatu malam. Sang murobbi hanya terdiam, mencoba terus menggali semua kecamuk dalam diri mad’unya.

“Lalu apa yang ingin antum lakukan setelah merasakan semua itu?” sahut sang murobbi setelah sesaat termenung.

“Ana ingin berhenti saja, keluar dari tarbiyah ini. Ana kecewa dengan perilaku beberapa ikhwah yang justru tidak islami. Juga dengan organisasi dakwah yang ana geluti; kaku dan sering mematikan potensi anggota-anggotanya. Bila begini terus, ana mendingan sendiri saja.” Jawab mad’u itu.

Sang murobbi termenung kembali. Tidak tampak raut terkejut dari roman di wajahnya. Sorot matanya tetap terlihat tenang, seakan jawaban itu memang sudah diketahuinya sejak awal.

“Akhi, bila suatu kali antum naik sebuah kapal mengarungi lautan luas. Kapal itu ternyata sudah sangat bobrok. Layarnya banyak berlubang, kayunya banyak yang keropos bahkan kabinnya bau kotoran manusia. Lalu, apa yang akan antum lakukan untuk tetap sampai pada tujuan?” Tanya sang murobbi dengan kiasan bermakna dalam. Sang mad’u terdiam dan berfikir. Tak kuasa hatinya mendapat umpan balik sedemikian tajam melalui kiasan yang amat tepat.

“Apakah antum memilih untuk terjun ke laut dan berenang sampai tujuan?” Sang murobbi mencoba memberi opsi.

“Bila antum terjun ke laut, sesaat antum akan merasa senang. Bebas dari bau kotoran manusia, merasa kesegaran air laut, atau bebas bermain dengan ikan lumba-lumba. Tapi itu hanya sesaat. Berapa kekuatan antum untuk berenang hingga tujuan? Bagaimana bila ikan hiu datang. Darimana antum mendapat makan dan minum? Bila malam datang, bagaimana antum mengatasi hawa dingin?” Serentetan pertanyaan dihamparkan di hadapan sang mad’u.

Tak ayal, sang mad’u menangis tersedu. Tak kuasa rasa hatinya menahan kegundahan sedemikian. Kekecewaannya kadung memuncak, namun sang murobbi yang dihormati justru tidak memberi jalan keluar yang sesuai dengan keinginannya.

“Akhi, apakah antum masih merasa bahwa jalan dakwah adalah jalan yang paling utama menuju ridho Allah? Bagaimana bila ternyata mobil yang antum kendarai dalam menempuh jalan itu ternyata mogok? Antum akan berjalan kaki meninggalkan mobil itu tergeletak di jalan, atau mencoba memperbaikinya?” tanya sang murobbi lagi.

Sang mad’u tetap terdiam dalam sesenggukan tangis perlahannya. Tiba-tiba ia mengangkat tangannya, “Cukup akhi, cukup. ana sadar… Maafkan ana… Ana akan tetap istiqomah insyaallah. Ana berdakwah bukan untuk mendapatkan medali kehormatan. Atau agar setiap kata-kata ana diperhatikan… Biarlah yang lain dengan urusan pribadinya masing-masing. Biarlah ana tetap berjalan dalam dakwah. Dan hanya Allah saja yang akan membahagiakan ana kelak dengan janji-janji-Nya. Biarlah segala kepedihan yang ana rasakan menjadi pelebur dosa-dosa ana”. Sang mad’u berazzam di hadapan sang murobbi yang semakin dihormatinya.

Sang murobbi tersenyum. “Akhi, jamaah ini adalah jamaah manusia. Mereka adalah kumpulan insan yang punya banyak kelemahan. Tapi dibalik kelemahan itu, masih amat banyak kebaikan yang mereka miliki. Mereka adalah pribadi-pribadi yang menyambut seruan Allah untuk berdakwah. Dengan begitu, mereka sedang berproses menjadi manusia terbaik pilihan Allah. Bila ada satu dua kelemahan dan kesalahan mereka, janganlah hal itu mendominasi perasaan antum. Sebagaimana Allah Ta’ala menghapus dosa manusia dengan amal baik mereka, hapuslah kesalahan mereka di mata antum dengan kebaikan-kebaikan mereka terhadap dakwah selama ini. Karena di mata Allah, belum tentu antum lebih baik dari mereka. Futur, mundur, kecewa atau bahkan berpaling menjadi lawan bukanlah jalan yang masuk akal. Apabila setiap ketidak-sepakatan selalu disikapi dengan jalan itu, maka kapankah dakwah ini dapat berjalan dengan baik?” sambungnya panjang lebar.

“Kita bukan sekedar pengamat yang hanya bisa berkomentar. Atau hanya pandai menuding-nuding sebuah kesalahan. Kalau hanya itu, orang kafirpun bisa melakukannya. Tapi kita adalah da’i. kita adalah khalifah. Kitalah yang diserahi amanat oleh Allah untuk membenahi masalah-masalah di muka bumi. Bukan hanya mengeksposnya, yang bisa jadi justru semakin memperuncing masalah. Jangan sampai, kita seperti menyiram bensin ke sebuah bara api. Bara yang tadinya kecil tak bernilai, bisa menjelma menjadi nyala api yang yang membakar apa saja. Termasuk kita sendiri!”

“Bekerjalah dengan ikhlas. Berilah tausyiah dalam kebenaran, kesabaran dan kasih sayang kepada semua ikhwah yang terlibat dalam organisasi itu. Karena peringatan selalu berguna bagi orang beriman. Bila ada isu atau gosip tutuplah telinga antum dan bertaubatlah. Singkirkan segala ghibah antum terhadap saudara antum sendiri. Dengan itulah, Bilal yang mantan budak hina menemui kemuliaannya.” Suasana dialog itu mulai mencair. Semakin lama, pembicaraaan melebar dengan akrabnya. Tak terasa, kokok ayam jantan memecah suasana. Sang mad’u bergegas mengambil wudhu untuk berqiyamu lail. Malam itu. Sang mad’u sibuk membangunkan mad’u yang lain dari asyik tidurnya. Malam itu sang mad’u menyadari kesalahannya. Ia bertekad untuk tetap berputar bersama jama’ah dalam mengarungi jalan dakwah.

Sabtu, 05 Juli 2014

Menolak Keindahan

Ya Allah Yaa Rahman Yaa Rahim Yaa Malik Yaa Kuddus Yaa Salam...

Ini adalah sebuah malam dimana tidak ada lagi setan yang Allah biarkan mengganggu manusia. SubhnAllah, hari ini Allah mentarbiyahku secara langsung. Hampir 1 minggu bulan suci ini berlalu, dan aku yakin cerita ini tak akan pernah aku lupakan dalam hidupku.

Yaa Allah, Terimakasih atas pembelajaran ini...

Entah dengan apa aku bisa bersyukur, karena sejatinya malam ini aku benar-benar sedang beribadah. Bukan beribadah untuk melakukan kebajikan, namun sungguh Allah masih menjagaku dari sebuah kehinaan dan kekejian. Aku sadar dan sangat faham ini adalah sebuah kenikmatan sesaat yang tidak semua orang akan mudah menolaknya. Ibarat sebuah makanan ia sudah berada dalam pucuk sendok tinggal menunggu mulut datang menyantapnya.

Aku janji,

Iya, aku janji atas Asmamu yaa Allah. Tidak ada sebuah dzat yang mampu mengalahkan segala egoisme dalam jiwaku selain Engkau. Ijinkan aku tetap berada dalam barisan hambamu yang selalu takut dan tunduk kepadaMu. Bukan hamba yang hanya mampu merasa takut atas persepsi orang ataupun tunduk pada Nafsu duniawi.

Biarkan ia pergi, bersama angin malam yang sampai detik ini tak kunjung kau hembuskan. Ketika pada masanya ia kembali biarkan tulisan ini yang akan mengingatkanku tentang arti sebuah perjuangan untukMu.
Maafkan aku wahai orang yang akan menerimaku kelak, aku percaya engkau akan menyampaikan kekecewaan atasku. Namun sungguh aku bangga karena Allah masih menjagaku dan mengampuniku.

Atas Nama Allah yang maha membolak-balikkan hati. Berikanlah aku masalah agar aku dapat belajar. Berikanlah aku beban agar aku lebih kuat. Berikanlah aku kesakitan agar aku selalu tegar. Berikanlah aku neraka agar aku mendapatkan surga. Ataupun hilangkanlah semunya agar aku benar-benar ikhlas beribadah hanya padaMu.


At my room, 5 Juli 2014 @baniasroff 

Rabu, 02 Juli 2014

Cerita cita dan cinta


Terlihat sebuah pemandangan yang nampak biasa, tapi saat ini jadi luar biasa. Mungkin karena faktor intensitas yang tidak terlalu sering ataupun dari sudut pandangku yang tidak setiap tahun memperhatikannya.

Ada banyak, iya ada sangat banyak pasangan disini. Disekolah ini aku melihat betapa penuh makna pemandangan ini. Silih berganti mereka berjalan, kesana kemari dengan tujuan untuk mengikuti alur dari panitia pelaksana. Mereka berpasang-pasangan dan bersama-sama menuju tujuan yang ada di alur tersebut.

Pasangan seorang anak dan salah satu orang tua. Terkadang anak laki-laki dengan Ibunya, terkadang anak perempuan dengan Ayahnya atau bahkan sebaliknya. Fikiranku mulai berekpresi,aah mereka sungguh sangat dekat. Layaknya jarak atara mereka berdua yang sedang berjalan. Yang kemudian menjadi pertanyaan dalam benakku adalah, siapa yang mendekat? Sang Anak kah? Atau orang tuanya?entahlah...

Pemandangan ini terlihat seketika ada PPDB di salah satu Sekolah favorit di kota Pelajar ini. Yang terlihat adalah sang anak yang entah kenapa seperti raja. Mereka berjalan kesana kemari dengan pendamping. Ada yang hanya didampingi saja, namun juga ada yang bahkan tas dan jaket sang anak dibawakan oleh orang tuanya.

Yang satu berjalan dengan langkah lantang dan menatap tegap kedepan, tidak jarang ada agak menengok keatas. Namun yang satu berjalan kaku sambil menatap sayu, entah apa yang ia fikirkan ataupun rasakan.
Fenomena ini mengingatkanku tentang sebuah peran orang tua. Entah sampai saat ini aku sangat merasa orang tua akan selalu menjadi pelindung bagi anak-anaknya walaupun jika dibandingkan secara fisik pasti sang anak masih jauh lebih bugar dan kekar.

Itulah mereka, orang tua yang selalu akan berfikir “kehidupanku setelah mati adalah anak-anakku kelak”. Apapun yang mereka fikirkan atau rasakan sang anak tak pernah tahu. Sang anak adalah raja bagi hati setiap orang tua. Mereka adalah buah dari rasa cinta dan kasih sayang. Suatu saat sang anak adalah matahari baginya untuk tetap hidup dengan cerah.

Anak adalah Cerita,
Anak adalah Cita,
Anak adalah Cinta,


Stemsa, 2 july 2014 @BaniAsroff