Sabtu, 21 November 2015

Bagaimana mungkin aku bisa menulis

Bagaimana mungkin aku bisa menulis, jika jemari tanganku diam dan tak mau bergerak.

Aku pun heran dengan diriku, banyak yang aku punya tapi terlihat tak punya apa-apa. Biasanya ada yang membanggakan tapi semuanya selalu sirna. Batasan-batasan waktu yang seolah membunuh akal sehatku. Ruang-ruang semu yang tak bisa aku lihat meski aku mencoba mebacanya.

Aku harus bagaimana? saat aku tak punya pijakan. Bukankah setiap yang melangkah itu pasti berpijak? bagaumana mungkin dia bisa berjalan diatas awang-awang. Kalaupun bisa tentulah ada mukjizat disana.

Rasanya hampa, mataku hanya melihat degradasi dua warna hitam dan putih. Mereka kadang terpisah, tapi kadang menyatu. Kemana warna yang lain? sudah pudar kah, atau sudah hilang ditelan cahaya.

Sepertinya akal, fikiran dan hati tak kunjung mau berpadu. Mungkin salah satu diantara mereka ada yang terluka. atau dominasi diantara ketiganya yang tidak merata.

Sudahlah, sepertinya semua orangpun tahu. Hati yang gelisah adalah tanda kesalahan. Bukan hal yang mustahil jika hati itu rusak. Karena hati yang fitrah itupun akan menjadi kotor jika terus menerus kau paksa.

Mengapa tidak mencoba untuk bergerak, padahal Pencipta menyuruhmu untuk bangun dari tidur nyenyak. Menarik lembaran selimut dari tubuhmu agar kehangatan itu tak melenakan.

Mengapa tak pernah bersyukur. Bukankah kita tidak akan pernah lupa dengan aib yang kita lakukan. bagaimana jika aib-aib itu terbuka. Sungguh Dia telah benar-benar menutup setiap kesalahan, dan itu hanya karena agar kita mau bersyukur dan belajar.

Ayoo, tidak ada alasan untuk berdiam diri. Tidak ada pembenaran untuk tidak berbuat baik. Masihkah selalu kita dengarkan, Dia memanggilmu dengan sapaan "hayya' alal falah" bukankah itu berarti hanya ada kebaikan yang Dia inginkan darimu.

Sadarlah, Hari ini kita masih hidup.


Sabtu, 07 November 2015

Indonesiaku


Pagi buta, sejuk semilir angin nampaknya terasa berkat gerimis semalam. Di bawah langit khas Indonesia, dan bau tanah yang baru terusap hujan. Saya pun berfikir tentang Indonesia, dan inilah Indonesiaku.

Saya menulis ini bukan untuk menambaah permasalahan bangsa, bukan pula memposisikan diri bahwa setelah tulisan ini dibaca maka permsalahan bangsa akan selesai. Tidak, bagi saya menulis adalah menuangkan perasaan. Tulisan ini mungkin tidak dapat menjadi visualisasi diri saya, namun ini lah sedikit yang saya rasakan tentang Indonesia.

Jiwa seroang pemimpin memang tidak akan pernah bisa berbohong, saya diajarkan bahwa memimpin adalah tentang mencintai. Mencintai dengan segala bentuk pemberian, bukan permintaan. Ada perjuangan, pengorbanan dan tangungjawab. Di dalam kepemimpinan adalah amanah, seperti halnya Allah utus manusia menjadi khalifatullah fil ardh. Amanah itu harus diperjuangakan, bahkan dengan penuh pengorbanan karena akhirnya amanah harus dipertanggungjawabkan..

Sebagai anak bangsa, saya sedih dan prihatin dengan keadaan Indonesia. Siapa bilang pemimpin sekarang gagal? tidak, bukan karena itu kesedihan itu datang. Justru karena keadaan Negara yang bagi saya sangat tidak stabil.

Di awal saya melihat perjalanan pemimpin Negara ini bukan dari tempaan lapangan, justru karena peran media dengan proyek mengaangkat figur baru yang di persepsikan menjadi idola masyarakat. Dampaknya mulai terasa, kesiapan sang Bapak Negara mengelola 1700 lebih sekian pulau mulai dipertanyakan. Kesalahan-kesalahan kecil memicu golongan oposisi semakin menjadi-jadi dalam mengkritik. Integritas seorang pemimpin bangsa pun dipertanyakan, euforia kampanye yang begitu besar tidak bisa di ikuti dengan keselarasan tindakan. Negara ini seketika menjadi penuh masalah, mulai kisruh KPK POLRI, Pengangkatan Hakim Agung, sampai sengketa Kapolri.

Lucunya masalah demi masalah itu tidak diselesaikan, masyarakat seolah diposisikan sebagai konsumen atas pertunjukan elite politik di pemerintahan. Satu masalah muncul kemudian hilang tak berbekas di tutup dengan masalah-masalah lain. Saya pun bosan dengan pemberitaan media yang selalu menyudutkan pemerintah, rencana kebijakan yang senganja di wacanakan seolah menjadi "test in the water" bagi masyarakat. Betul-betul masih teringat saat isu tentang agama memanas menjadikan kaum kaum religius geram, mulai dari rencana penghapusan kolom agama di KTP, pemblokiran situs radikal sampai isu teroris dan ISIS yang sampai sekarang tidak ada bukti keberadaannya.

Bagi saya kondisi negara ini sangat meprihatinkan, memang saya hanya bagian kecil dari salah satu faktor pembentuk Indoensia. Tapi bagi saya keresahan adalah perasaan cinta atas kebermilikan Ibu Pertiwi tempat saya lahir dan dibersarkan.

Lihat, masyarakat pribumi berangsur-angsur gagal menjadi tuan di tanah sendiri. Semakin kesini saya melihat, pilihan itu hanya ada dua, menjadi mafia atau penonton atas drama eksploitasi di rumah sendiri. Ini tanah kami, kenapa hak-hak masyarakat justru semakin dibatasi. Negara di sulap menjadi lahan bisnis bagi para penanam saham.

Aneh, sangat-sangat aneh. atau memang inilah tanda-tanda akhir zaman. Saat amanah diberikan kepada orang-orang yang berkhinat. Jika tidak percaya, coba tanyakan pada sebagian orang tentang kondisi pemerintahan Indonesia. Maka kita akan melihat kekecewaan atas amanah-amanah dari para pemimpin yang diberikan amanah. Saya tidak menunjuk satu orang, karena pemerintahan adalah satu kesatuan yang harusnya bisa saling menutupi aib. Bukan malah saling serang hanya untuk kekuaasaan dan keberterimaan di mata rakyat.

Apakah seperti ini yang dikatakan pemimpin? ketika berjanji dia ingkari, ketika berkata dia berdusta dan ketika diberi amanah dia berkhianat.

Wahai pemimpin negeri, tidakkah kalian tahu rakyat dibawah sana sedang kebingungan. Mereka hidup di antara apa yang benar dan apa yang terlihat benar. Mengapa kita tidak saling bersatu, bahu membahu dan saling mendukung untuk kejayaan bersama. Tidak perlu lagi rakyat ditipu hanya untuk kepentingan golongan, tidak pantas pula rakyat melihat Bapak Negaranya justru lebih ingin menyenangkan ibu suri daripada rakyatnya.

Tidak banyak orang yang mau mengakui kesalahan, meminta maaf dan memperbaikinya. Justru mereka bersembunyi dibalik kesalahan-kesalahan masa lalu yang dijadikan tameng untuk mengamankan posisi dan lari dari tanggungjawab. Gali lubang tutup lubang, hingga pada akhirnya semua cara ditempuh untuk menutupi kesalahan yang ada.

Tulisan ini memang tidak akan serta merta merubah kondisi Indonesia, bahkan di luar sana saya yakin masih banyak orang-orang yang berfikir bahwa saya adalah orang yang berada diposisi berseberangan dengan pemerintah. No No, tidak. ini adalah realitas yang saya rasakan tentang keresaahan. Saya hanya tidak ingin Indonesia ini semakin terpecah belah oleh rekayasa media dan penggiringan opini publik. Karena bagi saya hancurnya negara ini adalah kesalahan sistemik dari setiap sistem yang saling berkaitan.

Dalam diri saya hanya ingin kita semua merendahkan setiap egoisme, sadar atas permasalahan bangsa dan bersama-sama menyatukan kekuatan untuk mewujudkan negara yang Adil dan Sejahtera.