Jumat, 21 Agustus 2015

Guru Bangsa adalah Kita

Bismillahirrahmanirrahim..

70 tahun Indonesia merdeka tak bisa menjamin negara dengan ribuan pulau ini meraih kejayaan. Justru dibalik hingar-bingar perayaan hari Kemeredekaan, permasalahan bangsa kian menjadi-jadi. Kekacaun berskala nasional melanda bumi pertiwi yang kata orang negara ini adalah negara yang besar. Permasalahan karakter bangsa mencapai titik nadir, di saat prostitusi sudah biasa, kawin cerai apa salahnya, korupsi menjadi budaya. Negara kaya akan sumber daya seakan tak berguna karena tergerus arus modernisasi yang tak bisa diimbangi. Seabreg permasalahan bangsa pada akhirnya menimbulkan pertanyaan besar tentang bagaimana cara memperbaikinya.

70 tahun yang lalu, ada salah satu negara kecil yang hancur lebur akibat 2 bom atom mendarat di kota Hiroshima dan Nagasaki. Sang matahari terbit yang kini menjelma menjadi salah satu tokoh dalam dunia teknologi pernah hancur. Tapi Jepang bangkit, bahkan tanda kebangkitan itu mulai terlihat 20 tahun setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II. Belajar dari jepang, terkisahkan disana saat terpuruk pemerintah jepang melakukan tindakan dengan efek jangka panjang. Dari sekian orang yang tersisa dan selamat, pemerintah Jepang meminta untuk mengumpulkan beberapa kelompok, salah satu di antaranya adalah guru. Berapapun guru yang tersisa kala itu mereka kumpulkan. Mereka faham betul salah satu cara untuk bangkit dari keterpurukan adalah dengan pendidikan.

Mentri Pendidikan Anies R. Baswedan, PhD. pernah berkata “memikirkan pendidikan adalah memikirkan tentang masa depan bangsa”. Memang urgensi pendidikan saat ini sangat dibutuhkan sejalan dengan kondisi negara 10-20 tahun mendatang yang akan ditentukan oleh pendidikan.

Berbicara tentang pendidikan adalah berbicara tentang proses membina dan dibina, proses belajar dan mengajar yang dasarnya sesuai hukum dasar aksi dan reaksi. Pendidikan mengajarkan tentang sebuah aturan, membentengi manusia dari kebodohan atas ketidaktahuan. Pendidikan juga berarti menanam, meletakan bibit agar dia tumbuh dan berkembang. Menanam berarti menghidupkan, dan dari sanalah kehidupan itu terlihat. Apakah dia akan tumbuh menjadi pohon besar dan kokoh, atau justru menjadi pohon kecil yang gersang dan kering.

Kita telah diajarkan dalam salah satu hadist, “tuntutlah ilmu sejak dari buaian hingga liang lahat” (HR Bukhori). Itulah mengapa pendidikan begitu relevan dengan kehidupan, karena dimana saja kita hidup maka disanalah ada pembelajaran. Satu hal yang perlu ditanamkan adalah kita bisa belajar dari siapapun, bahkan dari seorang bayi yang baru dilahirkan.  

Mas Harizka Rahmanto (Ketua BEM FT UNY 2010) dalam tulisannya berkata, “dalam membentuk karakter berintegritas tidak hanya bisa dengan diajarkan, namun di tularkan”.

Pantas saja ketika hari ini banyak siswa di Sekolah rajin mencontek, kita lihat pemimpin-pemimpin disana sudah akrab dengan korupsi. Wajar ketika hari ini siswa SD sudah familiar dengan rokok jika mentri negara saja memberikan contoh atas itu. Betapa marahnya guru saat siswa tidur di kelas, padahal tidak sedikit anggota DPR yang tidur saat rapat. Atau saat guru BK di sekolah merasa lelah terus menerus mengingatkan siswanya yang tak mau memasukkan bajunya, itu sebanding karena Presiden saja memberi contoh melipat dan mengeluarkan baju dinasnya.

Harusnya kita sadar, bahwa mental-mental tidak teratur yang mendera generasi penerus bangsa ini tidak serta merta muncul tanpa alasan. Tapi karena memang apa yang mereka lihat, apa yang mereka dengar dan apa yang mereka lakukan adalah sama. Tauladan yang sungguh sangat dirindukan itu menghilang dan tak mengajarkan apa itu makna kehidupan.

Sepakat saat hari ini, di kampus Pendidikan ini OSPEK yang selalu difatwakan erat dengan penghancuran karakter via perploncoan justru mengangkat tema “GURU BANGSA”. Guru bangsa bukanlah profesi yang harus mendekte soal hasil kurikulum yang tercetak. Atau personal yang mengajarkan teori dengan gaji tinggi hingga melupakan apa itu panggilan jiwa.

Guru bangsa adalah tauladan, Guru bangsa adalah percontohan, Guru bangsa adalah panggilan jiwa untuk senantiasa meyakinkan dalam hati, mengatakan dengan lisan dan melakukan dengan perbuatan dalam menanam benih benih kebaikan. Karena sejatinya guru adalah panggilan jiwa yang sadar akan permasalahan bangsa. Perlahan menanam bibit agar kelak ketika dia berbuah, buah itu yang akan merubah bangsa ini menuju arah perbaikan. Menghapuskan segala bentuk pembodohan dan menegakkan segala macam kebenaran.

Bukan tidak mungkin negara ini bangkit, saat setiap rakyatnya mampu menjadi guru bagi dirinya, keluarganya dan sekitarnya. Mencegah dari kerusakan dan melakukan perbaikan. Mereka percaya bahwa Indonesia ini akan menjadi negara yang besar. Negara yang kuat karena setiap rakatnya mampu memberikan tauladan kebaikan. Hingga saat semua itu terjadi, Ibu Pertiwi akan kembali tersenyum.

*Dedikasi untuk OSPEK UNY 2015, 
@baniasroff



Kamis, 20 Agustus 2015

Mirai E

lihat, apa kau melihat apa yang ada di kakimu?
inilah jalan yang kau lalui
lihat, apa kau melihat apa yang ada di depanmu?
itulah masa depanmu

ibu telah memberiku banyak kasih sayang,
terus menerus mengatakan padaku, agar berjalan dengan cinta
saat itu aku masih anak-anak dan tidak mengerti apa artinya,
tapi dia menggenggam tanganku dan berjalan bersamaku,

mimpiku terlihat jauh diatas langit
aku takut tak bisa menggapainya, tapi aku terus mencoba
karena ini ceritaku, maka aku tak akan menyerah
ketika ku merasa cemas, ia menggenggam tanganku dan berjalan bersamaku.

kebaikan seperti itu kadang menjengkelkan
tapi aku menjadi lemah, ketika aku jauh dari ibu,