Bismillahirrahmanirrahim..
70 tahun Indonesia merdeka tak bisa menjamin negara dengan
ribuan pulau ini meraih kejayaan. Justru dibalik hingar-bingar perayaan hari
Kemeredekaan, permasalahan bangsa kian menjadi-jadi. Kekacaun berskala nasional
melanda bumi pertiwi yang kata orang negara ini adalah negara yang besar. Permasalahan
karakter bangsa mencapai titik nadir, di saat prostitusi sudah
biasa, kawin cerai apa salahnya, korupsi menjadi budaya. Negara kaya akan
sumber daya seakan tak berguna karena tergerus arus modernisasi yang tak bisa
diimbangi. Seabreg permasalahan bangsa pada akhirnya menimbulkan pertanyaan
besar tentang bagaimana cara memperbaikinya.
70 tahun yang lalu, ada salah satu negara kecil yang hancur
lebur akibat 2 bom atom mendarat di kota Hiroshima dan Nagasaki. Sang
matahari terbit yang kini menjelma menjadi salah satu tokoh dalam dunia
teknologi pernah hancur. Tapi Jepang bangkit, bahkan tanda kebangkitan itu
mulai terlihat 20 tahun setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II. Belajar
dari jepang, terkisahkan disana saat terpuruk pemerintah jepang melakukan tindakan dengan efek jangka panjang. Dari sekian orang yang
tersisa dan selamat, pemerintah Jepang meminta untuk mengumpulkan beberapa kelompok, salah
satu di antaranya adalah guru. Berapapun guru yang tersisa kala itu
mereka kumpulkan. Mereka faham betul salah satu cara untuk
bangkit dari keterpurukan adalah dengan pendidikan.
Mentri Pendidikan Anies R. Baswedan, PhD. pernah berkata
“memikirkan pendidikan adalah memikirkan tentang masa depan bangsa”. Memang
urgensi pendidikan saat ini sangat dibutuhkan sejalan dengan kondisi negara
10-20 tahun mendatang yang akan ditentukan oleh pendidikan.
Berbicara tentang pendidikan adalah berbicara tentang proses
membina dan dibina, proses belajar dan mengajar yang dasarnya sesuai hukum dasar aksi dan
reaksi. Pendidikan mengajarkan tentang sebuah aturan, membentengi manusia dari
kebodohan atas ketidaktahuan. Pendidikan juga berarti menanam, meletakan bibit
agar dia tumbuh dan berkembang. Menanam berarti menghidupkan, dan dari sanalah
kehidupan itu terlihat. Apakah dia akan tumbuh menjadi pohon besar dan kokoh,
atau justru menjadi pohon kecil yang gersang dan kering.
Kita telah diajarkan dalam salah satu hadist, “tuntutlah
ilmu sejak dari buaian hingga liang lahat” (HR Bukhori). Itulah mengapa
pendidikan begitu relevan dengan kehidupan, karena dimana saja kita hidup maka
disanalah ada pembelajaran. Satu hal yang perlu ditanamkan adalah kita bisa
belajar dari siapapun, bahkan dari seorang bayi yang baru dilahirkan.
Mas Harizka Rahmanto (Ketua BEM FT UNY 2010) dalam
tulisannya berkata, “dalam membentuk karakter berintegritas tidak hanya bisa
dengan diajarkan, namun di tularkan”.
Pantas saja ketika hari ini banyak siswa di Sekolah rajin
mencontek, kita lihat pemimpin-pemimpin disana sudah akrab dengan korupsi.
Wajar ketika hari ini siswa SD sudah familiar dengan rokok jika mentri negara
saja memberikan contoh atas itu. Betapa marahnya guru saat siswa tidur di
kelas, padahal tidak sedikit anggota DPR yang tidur saat rapat. Atau saat guru
BK di sekolah merasa lelah terus menerus mengingatkan siswanya yang tak mau
memasukkan bajunya, itu sebanding karena Presiden saja memberi contoh melipat
dan mengeluarkan baju dinasnya.
Harusnya kita sadar, bahwa mental-mental tidak teratur yang
mendera generasi penerus bangsa ini tidak serta merta muncul tanpa alasan. Tapi
karena memang apa yang mereka lihat, apa yang mereka dengar dan apa yang mereka
lakukan adalah sama. Tauladan yang sungguh sangat dirindukan itu menghilang dan
tak mengajarkan apa itu makna kehidupan.
Sepakat saat hari ini, di kampus Pendidikan ini OSPEK yang
selalu difatwakan erat dengan penghancuran karakter via perploncoan justru
mengangkat tema “GURU BANGSA”. Guru bangsa bukanlah profesi yang harus mendekte
soal hasil kurikulum yang tercetak. Atau personal yang mengajarkan teori dengan
gaji tinggi hingga melupakan apa itu panggilan jiwa.
Guru bangsa adalah tauladan, Guru bangsa adalah percontohan,
Guru bangsa adalah panggilan jiwa untuk senantiasa meyakinkan dalam hati,
mengatakan dengan lisan dan melakukan dengan perbuatan dalam menanam benih
benih kebaikan. Karena sejatinya guru adalah panggilan jiwa yang sadar akan
permasalahan bangsa. Perlahan menanam bibit agar kelak ketika dia berbuah, buah
itu yang akan merubah bangsa ini menuju arah perbaikan. Menghapuskan segala
bentuk pembodohan dan menegakkan segala macam kebenaran.
Bukan tidak mungkin negara ini bangkit, saat setiap
rakyatnya mampu menjadi guru bagi dirinya, keluarganya dan sekitarnya. Mencegah
dari kerusakan dan melakukan perbaikan. Mereka percaya bahwa Indonesia ini akan
menjadi negara yang besar. Negara yang kuat karena setiap rakatnya mampu
memberikan tauladan kebaikan. Hingga saat semua itu terjadi, Ibu Pertiwi akan
kembali tersenyum.
*Dedikasi untuk OSPEK UNY 2015,